Selasa, 22 April 2014

SERUKAN PENOLAKAN TAMBANG EMAS TUMPANG PITU, BAFFEL dan BENDO KEREP PENTAS TEATER DI SUNGAI

SERUKAN PENOLAKAN TAMBANG EMAS TUMPANG PITU,
BAFFEL dan BENDO KEREP PENTAS TEATER DI SUNGAI

13 orang berjubah plastik kegirangan karena menemukan 13 kalung emas. Mereka kenakan kalung emas temuan itu sambil terbahak pongah. Namun kegirangan tersebut tak berlangsung lama. Ketigabelas orang itu memegangi lehernya sembari mengeluh haus. Mereka resah karena kalung-kalung emas tak bisa ditukar dengan air. Setelah itu, ketigabelas orang berjubah plastik itu ribut satu sama lain karena memperebutkan satu-satunya botol yang berisi air bersih. Tak ada air yang layak diminum kecuali satu botol saja. Semua air yang tersedia, bahkan sungai sekalipun telah tercemar dan beracun.

Kemudian, ketigabelas orang itu merobeki jubah plastiknya sendiri. Dengan terus mengeluh haus mereka berjalan tersaruk-saruk menuju sungai. Dan, akhirnya ketigabelas orang itu rebah di atas sungai. Selembar spanduk bertuliskan “Manusia Bisa Hidup Tanpa Emas, Tapi Tidak Tanpa Air” menyelimuti 13 orang yang terkapar di tengah sungai.

Itulah adegan teater non-realis yang dipandegani oleh Banyuwangi’s Forum For Environmental Learning (BaFFEL) bekerjasama dengan Komunitas Seni Bendo Kerep. Selain untuk memperingati Hari Bumi 22 April 2014, teater yang disajikan di Kali Gulung (Desa Jambesari, Kec. Giri, Banyuwangi) itu juga bertujuan menyuarakan penolakan rencana tambang emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP).

BaFFEL dan Komunitas Seni Bendo Kerep meyakini, jika perusahaan tambang diijinkan mengeksploitasi emas di HLGTP, maka fungsi HLGTP sebagai kawasan resapan air akan terganggu. “Perusahaan butuh air untuk memurnikan emas. Air yang dibutuhkan sebanyak 2,038 juta liter setiap hari. Air sebanyak itu akan diperoleh dengan cara menyedot potensi air yang ada, baik air bawah tanah maupun sungai sekitar Tumpang Pitu. Hal ini tentu berdampak pada pemenuhan kebutuhan air masyarakat serta pertanian sekitar Tumpang Pitu,” jelas Aktivis BaFFEL, Rully Fauzi Latif.

Saat ditanya mengapa teater yang dipilih sebagai media aksi, Rully mengatakan, gerakan lingkungan hidup, khususnya kampanye penolakan tambang emas HLGTP, haruslah kreatif.

”Kami ingin memberi variasi atas aksi kami. Tahun 2012 kami telah melakukan aksi jalan mundur dari Gedung DPRD ke Kantor Bupati Banyuwangi. Tahun 2013 kami pernah melakukan aksi jongkok massal di depan Taman Makam Pahlawan. Nah, tahun 2014 ini kami bikin pentas teater di sungai,” jelas Rully yang juga anggota Komunitas Seni Bendo Kerep.

Rully menambahkan, Kali Gulung dipilih sebagai arena aksi karena sungai tersebut berbatasan langsung dengan ikon budaya masyarakat Using, yakni Desa Kemiren (Kec. Glagah, Banyuwangi). “Kami ingin dunia tahu bahwa aksi teatrikal ini memiliki spirit Using. Kami ingin menunjukan bahwa teater ini murni dari anak-anak Banyuwangi, dan dilakukan karena kecintaan kami terhadap Banyuwangi, khususnya Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu,” ujar penggiat lingkungan yang juga hobi fotografi itu.

Ketika ditanya tentang singkatnya durasi pementasan, Rully menunjuk faktor cuaca sebagai alasannya. “Bulan ini, cuaca di sekitar Jambesari dan Kemiren sulit diprediksi. Hujan bisa datang tiba-tiba. Jika tiba-tiba hujan, permukaan sungai bisa naik secara cepat, dan tentu mempengaruhi keselamatan para aktor. Karena itulah durasi pentas ini singkat,” urainya.

Meski durasinya singkat, Rully meyakini pesan penolakan tambang emas HLGTP yang terkandung dalam pementasan yang tak lebih dari 13 menit itu akan tetap sampai kepada khalayak. “Pentas teater ini bertujuan untuk membela air, sungai, dan hutan. Karena air, sungai, dan hutan adalah makhluk Tuhan, maka saya yakin mereka (air, sungai, dan hutan, red.) akan meresonansi pesan yang terkandung dalam pementasan ini,” tandasnya.






Kiriman : Rosdi Bahtiar Martadi

0 komentar:

Posting Komentar